BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan Glossogobius matanensis merupakan salah
satu jenis ikan perairan tawar yang hidup di perairan danau Matano daerah
Malili bersifat endemik di perairan tersebut dan memiliki arti ekonomis penting
karena selain sebagai ikan hias juga dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Akan
tetapi saat ini dengan adanya aktivitas manusia di sekitar perairan danau
tersebut baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun instansi pemerintah sering
kali membawa dampak hilangnya species yang tidak hanya merugikan secara
ekologis juga dapat pula berimplikasi ekonomis karena nilai jualnya yang sangat
tinggi sebagai sumber kekayaan yang tidak dijumpai di Negara/Wilayah lainnya.
Di Indonesia sebagian besar pemanfaatan perikanan
masih bersumber pada usaha penangkapan dari alam, usaha yang sepenuhnya
bergantung kepada hasil tangkapan ini akan
membawa pengaruh
kurang menguntungkan bagi
kontinuitas produksi. Kegiatan
penangkapan
yang tidak terkontrol dapat mengarah pada hasil tangkap lebih (overfishing)
sehingga berakibat menurunnya populasi ikan dan mengancam kelestarian sumber
itu sendiri. Walaupun ikan termasuk sumberdaya hayati yang mempunyai sifat
dapat pulih kembali (Renewable), namun apabila penangkapan dilakukan secara terus-menerus
akan mengakibatkan penurunan produksi yang terus menerus pula. Jenis ikan ini
merupakan ikan langka yang hanya dijumpai di Wilayah Malili kompleks dan ikan
ini telah pula menjadi biota target untuk dilestarikan karena telah dimasukkan
dalam daftar Red Data Book IUCN. Jenis ikan langka di Indonesia
diperkirakan semakin lama akan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
kegiatan eksploitasi yang dilakukan tanpa diimbangi dengan kegiatan konservasi.
Oleh sebab itu untuk menjaga populasi ikan Glossogobius matanensis tetap
tinggi dan lestari, perlu adanya usaha mengetahui ekologinya berupa hubungan
interaksi antara aspek lingkungan perairan danau (aspek abiotik dan biotik)
dengan organisme ikan Glossogobius matanensis yang mempunyai peran
penting, karena pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan
kehidupan ikan Glossogobius matanensis di perairan ini sangat terbatas
sekali. Tulisan ini walaupun hanya terbatas berupa makalah namun diharapkan
dapat membuka dan menambah wawasan untuk melestarikan jenis ikan ini.
1.2. Tujuan :
a.
Untuk memberikan informasi sebagai data
dasar mengenai ikan Butini (Glossogobius matanensis).
b.
Untuk mengetahui/mempelajari ekologi
ikan Butini (Glossogobius matanensis) kaitannya dengan proses hidupnya.
1.3.
Manfaat :
Diharapkan
makalah ini dapat memberikan gambaran atau memperluas cakrawala
pengetahuan
mengenai sumberdaya alam yang berkaitan dengan ikan Butini (Glossogobius
matanensis) dan kemungkinan pemanfaatannya di masa yang akan datang,
baik untuk pedoman tindakan konservasi (in-situ atau ex-situ) dalam
rangka melestarikan Ikan Butini yang merupakan salah satu plasma-nuftah yang
langka. Maupun sebagai langkah awal untuk pedoman pembudidayaan oleh
petani/nelayan dalam usaha untuk menyediakan protein hewani(ikan) bagi masyarakat.
1.4. Sistimatika dan Distribusi.
Sistimatika ikan Glossogobius
matanensis merupakan ikan air tawar yang hidup di Danau Matano daerah
Malili. Menurut kottelat, et al (1993) adalah sebagai berikut :
Kingdom
|
: Animalia
|
||
Phylum
|
: Chordata
|
||
Super
|
class
|
:
|
Pisces
|
Class
|
:
|
Teleostei
|
|
Ordo
|
:
|
Perciformes
|
|
Sub ordo
|
:
|
Gobioidei
|
|
Family
|
:
|
Gobiidae
|
|
Genus : Glossogobius
|
|||
Species: Glossogobius
matanensis.
|
Nama
umum :
Gobi
Nama
Lokal : Ikan Butini (Sulawesi Selatan)
Gambar 1. Ikan Butini Glossogobius matanensis
(Kottelat,et al., 1993).
Ikan Butini Glossogobius matanensis mempunyai
bentuk tubuh yang memanjang, dengan bagian depan silindris, bagian belakang
pipih, berkepala picak dan bentuk ekor yang tipis. Pipi tidak bersisik dan
tidak memiliki geligir serta gelambir meninggi yang jelas. Mulutnya lebar,
letaknya superior sedikit terminal dan mempunyai bibir yang berdaging.
Gigi-gigi pada rahang bawah terletak dalam beberapa baris. Lidahnya bersegi
sampai bercabang dua. Badan bersisik. Sirip-siripnya lebar dan memiliki dua
sirip punggung. Sirip perut tipis, bersatu dan membentuk piringan penghisap.
Sirip ekor lebih pendek dari pada kepala. Celah insang memanjang sampai bagian
bawah dekat pinggiran preoperkulum atau lebih jauh ke depan (Kottelak et al.,
1993)
Glossogobius matanensis mempunyai
pori-pori dan papilla peraba pada kepala. Pori-pori ini merupakan lubang
mikroskopis pada kanal kepala yang mengawali sistem gurat sisi. Kanal ini
berawal dari bagian depan atau belakang lubang hidung di antara kedua mata, di belakang
mata dan kemudian sepanjang batas atas dari preoperculum dan operculum. Papila
peraba adalah tonjolan-tonjolan di bagian samping kepala, teratur dalam
beberapa baris.
Badan berwarna gelap, hampir hitam pada specimen
yang besar (lebih dari 80 – 100 mm). Sirip punggung pertama memiliki enam duri
dari sirip punggung kedua memiliki satu duri diikuti oleh delapan sampai
sembilan jari-jari (D VI;I,8-9). Sirip anal memiliki satu duri diikuti oleh
delapan sampai sembilan jari-jari (AI, 8-9). Pola pipila yaitu baris ke 9 dan
10 terletak dalam tiga baris atau lebih , baris ke 15 dan 16,17 dan 18 tidak
terpisah (pori-pori K’ dan L’ hilang), baris ke 20, 21 dan 22 bercabang
(Kottelat, et al., 1993).
Distribusi :
Distribusi suatu jenis ikan di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain sifat fisik dan kimia air, hubungan organisme tersebut dengan organisme
yang lain serta tingkah laku organisme dalam memilih habitat (Krebs, 1972).
Ikan butini Glossogobius matanensis merupakan ikan endemik
Sulawesi Selatan tepatnya di Daerah Malili karena tempat ini terdapat
lima Danau, dua danau besar seperti Danau Matano dan Towuti serta tiga danau
kecil yang secara geografis letaknya berada di tengah kedua danau ini seperti
Mahalona, Wawontoa dan Masapi, Menurut Whitten, dkk (1987) ikan ini menyebar di
Danau Matano, Wawontoa dan Towuti. Namun Kottelat, et al.,1993. Ikan ini
tersebar di Danau Matano, Mahalona dan Towuti. Jelas bahwa ikan Glossogobius
matanensis menyebar di danau-danau Malili komplex karena danau-danau ini
dihubungkan oleh sungai-sungai yang ada di sekitarnya
BAB II
HABITAT IKAN
Danau Matano adalah danau yang terdalam di Indonesia
serta merupakan danau terdalam nomor delapan di dunia, yaitu dengan kedalaman
590 Meter. Danau Matano terletak dalam tatanan geologi pada jalur atau zona
sesar utama yang panjang dan membentang dari teluk Tolo di Timur hingga Teluk
Tomini di Utara pada bagian tengah dari pulau Sulawesi. Sesar utama itu adalah
akibat tumbukan antar lempeng mikro (microplate) yang membentuk Pulau
Sulawesi. Danau matano merupakan danau tektonik yaitu danau yang terbentuk
karena adanya proses-proses pelipatan dan patahan kerak bumi yang terjadi di sekitar
daerah litosfir yang membutuhkan waktu lama untuk terisi oleh air dan membentuk
danau (Haryani, 1996). Makanya danau ini memiliki species flora dan fauna yang
unik (endemic species). Danau Matano tergolong danau oligotropik dan
isothermal yang berisi plankton sedikit dan tanaman air yang hanya dapat tumbuh
pada lingkungan yang terbatas.
Menurut Koesbiono (1980), dalam suatu habitat
tertentu anggota-anggota dari suatu species akan dipengaruhi oleh
anggota-anggota species lain, bila niche ekologi kedua species sama. Bila ada
dua species yang kebutuhannya akan pangan dan atau faktor-faktor ekologi
lainnya sama, maka akan terjadi persaingan (kompetisi). Selanjutnya dinyatakan
secara umum kompetisi yang terjadi dalam suatu habitat bertindak sebagai
pengatur, misalnya dalam mengatur kepadatan populasi suatu spesies terhadap
kepadatan populasi spesies lain yang hidup dalam niche ekologi yang sama.
Menurut Macpherson (1981) bahwa jenis ikan yang
mempunyai luas relung yang luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran
yang besar dalam memanfaatkan pakan
yang
tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam menyesuaikan diri
terhadap fluktuasi kesediaan pakan, serta mempunyai daya reproduksi secara
individual sangat besar. Jadi berdasarkan luas relung, jenis ikan mempunyai
potensi yang paling besar untuk berkembang menjadi induk populasi di dalam
ekosistem perairan di mana ikan tersebut hidup.
Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup
organisme perairan dipengaruhi oleh sifat fisika–kimia (faktor abiotik)
perairan itu sendiri. Tetapi di lain pihak sifat organisme perairan itu sendiri
ikut berperan. Suatu perairan yang ideal bagi kehidupan ikan dapat
didefinisikan sebagai suatu perairan yang dapat mendukung kehidupan ikan dalam
menyesuaikan seluruh daur hidupnya, serta dapat mendukung kehidupan organisme
makanan ikan yang diperlukan dalam setiap stadia daur hidupnya dengan jumlah
yang mencukupi (Wardoyo, 1981). Kualitas air perairan pada prinsipnya merupakan
pencerminan dari kualitas lingkungan. Air merupakan medium bagi kehidupan
organisme perairan. Oleh karena itu kualitas air ini akan mempengaruhi dan
menentukan kemampuan hidup organisme perairan tersebut (Kartamihardja dkk.,
1987). pH air danau Matano berkisar 8,02 – 8,55 (Haryani, 1996). Kelimpahan
ikan Butini di perairan Danau Matano sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan
perairan, baik dari aspek faktor abiotik maupun aspek faktor biotik dan
interaksi kedua aspek faktor tersebut. Di samping itu juga kehidupan ikan
Butini di perairan sangat sensitive terhadap perubahan kondisi lingkungan
akibat aktivitas manusia mempengaruhi kelestarian ikan Butini di perairan.
2.1.
Suhu Air
Di dalam danau terdapat perbedaan kepadatan dalam
kolom air akibat pancaran sinar matahari ke permukaan perairan sehingga
menghasilkan bentuk berlapis-lapis; yang paling panas disebut epilimnion yang
mengalami fluktuasi harian, metalimnion dan hipolimnion yang paling bawah
(Whitten, dkk, 1987) selanjutnya suhu air untuk Danau Matano adalah 23-30 oC.
Suhu biasanya berkurang dengan bertambahnya
kedalaman air, tetapi ada perkecualian seperti danau Moat, Towuti dan Matano
yang suhunya kurang lebih tetap di semua kedalaman danau. Hal ini dapat terjadi
karena danau itu terdapat di daerah tektonik yang relative aktif, dan
penyimpanan-penyimpanan itu mungkin karena adanya sumber-sumber air panas yang
dalam (Anon., 1980).
Dapat diperkirakan bahwa perubahan suhu lingkungan
hidup dapat mempengaruhi proses-proses hayati di dalam tubuh organisme karena
proses ini bersifat kimiawi. Juga suhu lingkungan hidup merupakan faktor dalam
distribusi organisme, sedangkan sifat fisika lingkungan hidup, misalnya
viskositas air mempengaruhi suhu. Viskositas air menurun dengan meningkatnya
suhu. Mengingat faktor tersebut suhu merupakan faktor ekologi yang penting
(Koesbiono,1980).
Ikan merupakan organisme yang bersifat poikiloterm
yaitu suhu tubuh ikan sesuai dengan suhu perairan, Haet (1971), menyatakan
fluktuasi harian suhu perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme di
dalamnya, fluktuasi suhu air yang terlalu besar dapat mematikan organisme
perairan. Bihsop (1973) menyatakan suhu air dapat merangsang dan mempengaruhi
pertumbuhan organisme perairan serta mempengaruhi oksigen terlarut untuk
respirasi.
Setiap organisme mempunyai suhu maksimum, optimum
dan minimum untuk kehidupannya, Menurut Boyd dan Kopler (1979) suhu optimum
untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah 25 oC-
30 oC.
2.2.
Kecerahan air
Kecerahan
(transparency) air adalah suatu ukuran untuk mengetahui daya penetrasi
cahaya
matahari ke dalam air di mana nilainya berbanding terbalik dengan nilai
kekeruhan (koesbiono, 1980). Kecerahan dapat diukur dan diamati secara visual
dengan alat Bantu berupa Secchi Disk (keeping secchi) (Boyd, 1988). Kemampuan
daya tembus matahari ke perairan sangat ditentukan oleh kandungan bahan organik
dan bahan anorganik tersuspensi dalam perairan, kelimpahan plankton, jasad
renik dan densitas air Wardoyo, (1981).
2.3.
Kelarutan oksigen
Oksigen terlarut
berpengaruh terhadap metabolisme, kecepatan berenang, dan
perkembangan
telur. Oksigen terlarut digunakan oleh organisme perairan dalam respirasi.
Oksigen terlarut meningkat pada siang hari hingga sore hari dan menurun pada
malam hari (Boyd, 1988). Variasi oksigen terlarut tergantung pada perubahan
suhu dan kedalaman air. Pada lapisan atas variasinya lebih kecil dari pada
lapisan bawah termoklin. Pada musim panas kandungan oksigen terlarut pada
lapisan termoklain naik sedangkan pada musim dingin menurun. Fenomena serupa
terjadi pada konsentrasi nitrat dan fosfat. Dengan demikian oksigen
terlarut sama halnya
dengan suhu mempunyai
pengaruh yang besar terhadap reproduksi ikan Glossogobius
matanensis.
2.4.
Unsur Hara
¾ Nitrogen
Nitrogen
merupakan salah satu unsur yang penting bagi pertumbuhan tanaman air dan
berperan
dalam pembentukan dan pemeliharaan protein yang merupakan bagian dari
organisme. Sumber senyawa nitrogen dari perairan terutama berasal dari limbah
pertanian, limbah rumah tangga dan industri (Goldman and Horne, 1983). Dalam
keadaan aerob dengan bantuan bakteri , ammonia diubah menjadi nitrit dan nitrat
di mana nitrat dapat digunakan oleh tumbuhan hijau terutama algae serta
produsen primer lainnya. Sedangkan ammonia sendiri merupakan hasil utama
penguraian protein, ammonia dalam jumlah yang banyak dapat berakibat fatal bagi
ikan atau organisme perairan lainnya. Oleh karena itu sebaiknya kandungan
ammonia di perairan dijaga jangan sampai melampaui 1,5 ppm sedangkan Pescod
(1973) menyarankan criteria perairan di daerah tropis kandungan amonia tidak
boleh lebih dari 1 ppm.
¾ Sulfur
Sulfur berperan
dalam metabolisme protein bagi pertumbuhan tanaman. Sumber
sulfur
di perairan dapat berasal; dari buangan industri, buangan kota dan sebagian
besar tergantung kepada susunan kimiawi daerah aliran sungai (Goldman dan
Horne, 1983). Di perairan anaerob, sulfat direduksi menjadi sulfide. Sulfida
dalam bentuk hidrogen sulfide sangat toksik bagi ikan pada konsentrasi 1,0 ppm.
¾ Phosfat
Unsur P
merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi metabolisme sel
tanaman.
Unsur ini dalam perairan ditentukan dalam bentuk Ortho-phosphat, Poli-phosphat
dan phosphate-organik. Unsur P dalam bentuk Ortho-phosphat dapat dimanfaatkan
oleh organisme nabati karena senyawa ini merupakan senyawa yang larut dalam
air. Di dalam air phosphate dapat ditemukan dalam berbagai bentuk senyawa Fe
dan Ca dan bentuk ikatan dipengaruhi oleh pH. Dalam perairan yang asam biasanya
ditemukan sebagai Feri-phosphat dan dalam perairan yang netral atau agak basa
sebagai Kalium–phosphat, serta pada perairan pH tinggi sebagai Natrium-phosphat.
Pada umumnya kandungan phosphate dalam perairan tidak pernah lebih dari 0,1
ppm, kecuali bila penambahan dan pelimpahan air buangan pertanian ataupun rumah
tangga (Lund dalam Krismono dkk, 1987). Kandungan phosphat dapat dipakai untuk
mengukur kesuburan suatu perairan, menurut Goldman dan Horne (1983) suatu
perairan relative subur bila kandungan total phosphat 0,06 – 10,00 ppm.
ASPEK
BIOLOGI IKAN
a.
Reproduksi
Pengelolaan sumberdaya perikanan untuk menjaga
kelestariannya tidak hanya terpusat pada aspek produksi ikannya, melainkan juga
pada aspek biologi ikan dan faktor lingkungan hidupnya (Samuel dan Ondara,
1987). Sedangkan Nikolsky (1963), mengemukakan bahwa beberapa aspek biologi
reproduksi diperlukan untuk penelaahan frekuensi pemijahan, keberhasilan
pemijahan, lama pemijahan dan ukuran ikan pada saat pertama kali mencapai
kematangan gonad.
Salah satu aspek biologi reproduksi ialah tingkat
kematangan gonad (TKG) yaitu tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum
dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk
mengetahui perbandingan antara ikan yang berada di perairan, ukuran atau unsur
ikan pertama kali matang gonadnya, dan apakah ikan sudah memijah atau belum
(Nikolsky , 1963 dan effendi,1979)
Semakin meningkat TKG ikan, umumnya garis tengah
telur yang ada dalam gonad semakin besar. Dengan kata lain ukuran dan berat
gonad serta garis tengah telur bervariasi dari TKG individu ikan betina (Lagler
et al, 1977). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa saat ikan pertama kali mencapai
matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya
individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor dalam seperti umur,
ukuran dan perbedaan species. Hasil sementara yang diperoleh Hutabarat (2003)
menyatakan bahwa TKG ikan Glossogobius matanensis persentase tertinggi
pada TKG III dan IV pada ikan jantan terjadi pada bulan Oktober 2002 (22,22 %)
dan Maret 2003 (28,56 %), demikian pula ikan betina, persentase tertinggi juga
pada bulan Oktober 2002 (21,05 %) dan Maret 2003 (28 %).
Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan
gonad semakin bertambah besar dan berat. Berat gonad akan mencapai maksimum
sesaat ikan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai
selesai (Effendie,1979). Untuk mengetahui perubahan gonad tersebut secara
kualitatif dapat dinyatakan dengan index kematangan gonad (IKG). IKG adalah
suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat gonad dengan
berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100 % (Effendie, 1979 dan Desai,
1973). IKG ini akan bertambah besar sampai mencapai maksimum ketika akan
terjadi pemijahan (Kagwade, 1967 dan effendie, 1979).
Royce (1984), mencatat bahwa ikan dapat memijah,
jika nilai IKG betina berkisar antara 10 % - 25 %. Dan nilai IKG jantan berkisar
antara 5 % - 10 %. Menurut hutabarat (2003) IKG ikan Glossogobius matanensis
jantan tertinggi terdapat pada bulan Juli 2002 (0,4378 %) dan Maret 2003
(0,2206 %), sedangkan ikan betina pada bulan Oktober 2002 (0,7438 % dan Maret
2003 (0,7290 %).dengan panjang ikan antara 72-332 mm. Royce (1984) dan Wootton
(1973) menyatakan semakin banyak makanan tersedia, pertumbuhan ikan semakin
cepat dan fukunditas semakin besar. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan
lingkungan dimana fukunditas species akan berubah bila keadaan lingkungan
berubah (Nikolsky, 1963).
Faktor kondisi atau ponderal Index (K) adalah
keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam bentuk angka (Lagler, 1961).
Harga k berkisar antara 2-4, apabila badan ikan itu agak pipih dan apabila ikan
kurang pipih harga K berkisar antara 1-3 (Effendie,1979). Tetapi harga K ini
dipengaruhi oleh keadaan makanan, umur jenis kelamin dan kematangan gonad
(Weatherly,1972).
b. Makanan Ikan
Salah satu
faktor ekologis yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup
dan
pertumbuhan ikan adalah makanan. Menurut Royce (1972), setiap organisme
membutuhkan energi untuk hidup, pertumbuhan, pemeliharaan dan untuk berkembang
biak yang diperoleh melalui makanan. Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan
secara umum dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu menurut Wootton,
(1992) :
1.
|
Karnivora
|
: Pemakan daging, yang biasanya
mempunyai usus yang pendek.
|
||
2.
|
Omnivora
|
: Pemakan daging dan
tumbuh-tumbuhan, mempunyai panjang usus
|
||
yang sedang.
|
||||
3.
|
Herbivora
|
: Pemakan tumbuh-tumbuhan,
mempunyai usus yang sangat panjang
|
||
melingkar-lingkar di dalam
rongga perut.
|
Dalam usaha domestikasi dan pembudidayaan ikan, maka
mempelajari aspek makanan ikan seperti kebiasaan makan dan jenis-jenis makanan
utama sangat bermanfaat dalam usaha yang dilakukan tersebut (Merta, 1982).
Selanjutnya dikemukakan dalam usaha budidaya ikan agar berhasil dengan baik
diperlukan penekanan pada pentingnya suatu pengertian yang tepat mengenai
keperluan-keperluan akan makanannya pada berbagai tingkat pertumbuhannya.
Sedangkan Hobson (1974) menyatakan kebiasaan makan ikan ini berubah dalam daur
hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya bersamaan dengan
perubahan-perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologisnya.
Lagler (1961) mengemukakan studi-studi makanan dapat
memperlihatkan secara mendetail hubungan-hubungan ekologis di antara
organisme-organisme, maka diperlukan identifikasi secara menyeluruh dari
jenis–jenis makanan tersebut. Juga organisme-organisme hidup berinteraksi satu
dengan yang lainnya dan dengan lingkungan abiotik melalui beberapa cara dan
tidak ada organisme yang hidup bebas dari pengaruh lingkungannya (Holden and
Raitt, 1974). Hasil sementara Irma (2003) menunjukkan jenis-jenis makanan yang
dikonsumsi ikan butini terdiri dari sembilan kelompok makanan yaitu Udang,
kepiting, ikan, insekta, gastropoda, cacing, potongan organisme, organisme
tidak teridentifikasi (makanan yang sudah dicerna), serasah serta ditemukan
juga kerikil dan pasir.
Berdasarkan apa yang dimakan maka ikan butini ini
digolongkan pada karnivora (Pemakan daging) yang biasanya mempunyai usus yang
pendek sebagaimana juga dijelaskan dalam Kottelat, et,al., (1993) bahwa pada
umumnya famili Gobiidae merupakan ikan predator walaupun ada juga yang memakan
detritus.
Makan adalah merupakan salah satu fungsi yang
terpenting dari organisme. Tiap-tiap jenis mencari makan, rongga mulut (buccal
cavity) untuk menangkap dan usus untuk mencernakannya (Nikolsky, 1963).
Sedangkan Kagwade (1967), menyatakan keadaan komposisi dari makanan ikan akan
membantu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan habitat yang seringkali
dikunjunginya. Menurut Roa (1974), besarnya populasi ikan di dalam suatu
perairan adalah merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya, sehingga
suatu pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan
organisme-organisme makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi
dari keberadaan populasi ikan tersebut. Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan
besar serta komposisi dari suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang
ada dan juga mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut.
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
1.
Ikan Butini (Glossogobius matanensis)
merupakan jenis ikan yang endemik di perairan danau Matano.
2.
Karakteristik lingkungan perairan yang
ideal untuk dapat mendukung kehidupan ikan Butini (Glossogobius matanensis)
di perairan danau Matano.
3.
Proses reproduksi ikan butini (Glossogobius
matanensis) terjadi setiap bulan namun puncaknya pada bulan Maret dan
Oktober.
4.
Kelimpahan
makanan dapat menyebabkan ikan butini ini bertumbuh dengan baik.
3.2.Saran
1.
Perlu dilakukan usaha konservasi agar
Ikan Butini (Glossogobius matanensis) tidak punah.
2.
Habitat ikan Butini (Glossogobius
matanensis) perlu dijaga agar tidak terjadi kerusakan maupun pencemaran.
3.
Perlu adanya usaha sosialisasi kepada
masyarakat kapan, di mana dan alat tangkap apa yang dipakai dalam hal menangkap
ikan Butini (Glossogobius matanensis) agar terjadi keseimbangan antara
penangkapan dan ketersediaan ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 1980. World
Conservation Strategi. International Union for the conservation of nature and
Natural Resources. Gland.
Bishop J.E., 1973.
Limnology of small Malayan River Gomak. Dr. W. Junk V.B. Publisher the Haque.
485 pp.
Boyd, C.E. 1988. Water
Quatily in Warmwater Fish Pond. Fourt Printing. Auburn University Agricultural
Experiment Station. Alabama. USA. 359 p.
Boyd,
C.E. and E.L. Kopler. 1979.
Water quality management in pond fish culture.
Risearch and
Development series No. 22. International Centre for Aquaculture, Agriculture
experiment Satation, Auburn University, Alabama. 30 pp.
Effendie
Moch. I., 1979. Metode Biologi
Perikanan. Yayasan Dwi Sri, Bogor. 122
hal.
Goldman,C.R.,
A.J. Horne. 1983. Limnology. Mcgraw-Hill Book Company. New
York.
Haryani, G. S., P.E.
Hehanusa. 1996. Preliminary Ecotone Studies of Two tectonic Lake in Sulawesi
Island, its Relevance to management Planning at Warshop on Ecosystem Approach
to Lake and Reservoir Management. LIPI. Jakarta.
Huet M., 1971. Texs Books of Culture
Breeding and Cultivation of fish. Fishing News (Books), London, 490 p.
Hutabarat. L.C. 2003.
Aspek Biologi Reproduksi Ikan Butini (Glossogobius matanensis Weber,
1913) di Danau Matano, Sulawesi Selatan. (Tidak dipublikasikan).
Hobson E., 1974.
Feeding Relationships of Teleostean Fishes of coral reefs in Kona, Hawaii.
Fish. Bull., 72 (4) ; 915-1.031.
Holden M.J. and D.F.S.
Raitt (ed.), 1974. Manual of Fisheries Science. Part 2. Methods of Resource
Investigation and Their Application. FAO Fish. Tech. Pap., (15), Rev, 1, Rome.
214 p.
Irma,. 2003. Studi
kebiasaan makanan ikan Butini Glossogobius matanensis Weber., 1913 di
Danau Matano, kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. (Tidak dipublikasikan).
Kagwade, V. N., 1967.
Food and Feeding Habits of the Horsemackerel, Caranx kalla (Cuv. &
Val.). Indian J. Fish., 14 (1 & 2) : 85 – 96.
Kartamihardja, E.S.; A.
S. Nastiti; Krismono; K. Purnomo; dan A. Hardjamulia, 1987. Penelitian
Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Pra-Industri. Bull. Penel. Perikanan
Darat Vol. 6 No. 3 : 1-27.
Kottelat, M., 1989.
Freshwater fauna of Sulawesi. Zoologische Staatssammlung, Munchhausenstr,
Germany.
Kottelat. M., A.J.
Whitten., S.N. Kartikasari dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of
Westerian Indonesian and Sulawesi. Puriplus edition.
Koesbiono,
1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian
Bogor. 150 p.
Krebs, C. J., 1978.
Ecology the Experimental Analysis of Distribution and abundance. Harper and
Row, New York. 678 p.
Krismono, D. W. H.,
Tjahjo; A. Hardjamulia; S. Nuroniah; dan Ch. Umar, 1987. Penelitian
Limno-Biologis waduk Saguling pada Tahap Post Industri. Bull. Penel. Perikanan
Darat. 6 (3) : 1-27.
Lagler, K. F., 1961.
Freshwater Fishery Biology. Second Edition. WMC Broun Company, Dubuque, 421 p.
Lagler, K. F., J.E.,
Bardach ; R.R. Miller and D. R. M. Passino. 1977. Ichthyology the Study of
Fishes. John Wiley and Sons, New York. 545 p.
Macpherson, E., 1981.
Resource Partitioning in a Maditerranian demersal Fish Community. Marine
Ecology Program Series, 39; 183-193.
Merta, I. G. S., 1982.
Studi Ekologi Ikan Baronang (Siganus canaliculatus Park. 1797)
diperairan Teluk Banten, Pantai utara Jawa Barat. Fakultas pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Moyle. P.B. J.J. Cech,JR.
1988. Fishes An Introduction to Ichthyology. Second Edition Prentice Hall.
Englewood Chiffs, New Jersey 07632.
Nikolsky,
G. V., 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press, London. 352 p.
Percod, M.B., 1973.
Investigation of Rational effluent and Stream Standards for Tropical Countries.
AIT, Bangkok. 59 p.
Roa, K. Srinivasa,
1974. Food Feeding Habits of Fishes from Trawl Catches in the Bay of Bengal
with observation on Diurnal Variation in the Nature of the feed. Indian J.
Fish., 11(1): 277-314.
Royce, W., 1984.
Introduction to the Practice of Fishery Science, Academic Press Inc. New York.
428 p.
Samuel dan Ondara,
1987. Sumberdaya Perikanan Bahagian Hilir Sungai Komerring, Sumatra Selatan.
Bull. Penel. Perikanan Darat, 6 (1): 29-64.
Wardoyo, S.T.H., 1981.
Kriteria Kualitas air untuk keperluan Pertanian dan Perikanan. Training
Analisis dampak lingkungan, PPLH-UNDP-PUSDI-PSL. Hal 15-40.
Weatherly, A.H., 1972.
Growth and Ecology of Fish Population Academic Press, London. 293 p.
Whitten, A.J., M.
Mustafa dan G.S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Wootton, R.J., 1973.
The Effec t of Size of Food Ration on Egg Production in the Female Three Spined
Stickleback Gastroresteus aculeatus L.J. Fish Biol, 5 (1); 89-96.
Wootton, R.J., 1992.
Fish Ecology. Publishod in the USA by Chapman and Hall. New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar